Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat sedang menunjukkan trend positif dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. Setelah mengungkapkan korupsi pembayaran ganti rugi lahan tol Padang-Sicincin yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp.28 miliar. Pertengahan juli lalu, Kejaksaaan Tinggi Sumatera Barat juga menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sapi bunting yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp.7,36 miliar.
Para tersangka yang berjumlah enam orang, terdiri dari kuasa pengguna anggaran, pejabat pelaksana teknis kegiatan, dan rekanan dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 junto Pasal 18 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. (Singgalang, 26 Juli 2023)
Tanpa mengeyampingkan asas praduga tak bersalah, bahwa setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan. Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dalam menetapkan tersangka tentu didukung oleh alat bukti yang sah, berdasarkan minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Melihat rentetan kasus korupsi yang terjadi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah sedemikian bobroknya bangsa ini, sehingga tindak pidana korupsi seolah tiada hentinya terjadi.
Mengidentifikasi penyebab
Secara teoritis ada tiga faktor yang sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum. Pertama, legal substance (subtansi hukum/peraturan perundang-undangan). Kedua, legal structure (struktur hukum). Ketiga, legal culture (budaya hukum masyarakat). (Lawrence M Friedman, 1975)
Dalam tindak pidana korupsi, legal substance ialah UU Tindak Pidana Korupsi yang memiliki kejelasan dan kepastian dalam mengatur delik tindak pidana korupsi. Dalam UU tersebut, delik korupsi dirumuskan dalam tiga puluh jenis tindak pidana. Dapat kita pahami bahwa UU Tindak Pidana Korupsi telah mengatur secara mendetail terhadap delik tindak pidana korupsi.
Faktor kedua yaitu legal structure atau aparat penegak hukum. Dalam penegakan tindak pidana korupsi sangat dipengaruhi oleh integritas dari aparat hukum itu sendiri. Jika integritasnya tinggi, secara tidak langsung mempunyai korelasi positif terhadap penegakan hukum, begitupun sebaliknya. Apabila integritas aparat hukum rendah, tentu berpengaruh terhadap penegakan hukum. Hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sehingga akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Secara institusional, terhadap penindakan tindak pidana korupsi. Jaksa Agung S. Burhanuddin telah memerintahkan seluruh jajaran Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri meningkatkan kinerja dalam penanganan korupsi di daerah. Setiap Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri memiliki target jumlah penanganan perkara dalam setahun, dengan rincian minimal tiga perkara untuk Kejaksaan Negeri dan lima perkara untuk Kejaksaan Tinggi.
Perintah Jaksa Agung terhadap jajarannya tentu menunjukan komitmen yang serius terhadap penegakan kasus korupsi di daerah. Selain keberhasilan Kejaksaan Agung membongkar kasus-kasus korupsi dengan nilai kerugian keuangan fantastis, seperti perkara korupsi BTS Kominfo merugikan keuangan negara Rp.8,32 triliun, kasus Duta Palma Group dengan terdakwa Surya Darmadi yang nilai kerugian mencapai Rp.78 triliun, kasus ekspor CPO terkait minyak goreng yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dan kasus-kasus lainnya.
Komitemen Kejaksaan Agung terhadap penegakan hukum, berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik kepada kejaksaan yang berada pada level tertinggi, yaitu mencapai 81,2 persen berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia. Ini merupakan posisi tertinggi di antara lembaga penegak hukum lainnya.
Faktor terakhir legal culture (budaya hukum). Budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan opini dalam masyarakat, yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat. Oleh sebab itu, budaya hukum merupakan komponen yang paling penting dalam proses penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Terjadinya tindak pidana korupsi secara tidak langsung dapat dipengaruhi oleh budaya masyarakat itu sendiri. Misalnya, di dalam masyarakat standar keberhasilan apabila mempunyai kekayaan dan kebendaan yang bersifat materi. Persepsi kekayaan sebagai standar keberhasilan seseorang, menyebabkan orang tersebut akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.
Memang sangat irasional jika pelaku korupsi, yang sebagian besar adalah pejabat negara yang digaji dan diberi tunjangan yang cukup besar. Namun, tetap melakukan tindak pidana korupsi.
Faktor politik atau kepentingan sangat berpengaruh terjadinya korupsi, disamping faktor pribadi individu. Hal ini sebagaimana dikemukakan Daniel S.Lev, politik tidak berjalan sesuai dengan aturan hukum, tetapi terjadi sesuai dengan pengaruh uang, keluarga, status sosial, dan kekuatan militer. Pendapat ini dapat kita uji validitasnya, bagaimana pengaruh politik sangat dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kegagalan dalam pemberantasan korupsi, besar kemungkinan disebabkan oleh praktik politik kotor yang hanya mengakomodir kepentingan golongan atau kelompok. Bagaimana kita akan mampu mewujudkan bangsa yang maju, adil, dan makmur, sementara praktik politik kotor telah melanda bangsa ini.
Upaya pencegahan
Prilaku koruptif yang telah menggerogoti dalam setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu memerlukan upaya “luar biasa” dalam pencegahannya. Pertama, perbaikan dan rasionalisasi sistem birokrasi. Hal ini merupakan hal sangat substantif dan mendasar yang harus dilakukan. Sistem birokrasi di Indonesia secara organisasi terlalu gemuk. Banyak lembaga pemerintah non kementerian yang keberadaannya menyedot anggaran negara yang cukup besar, dan dianggap memiliki tugas pokok dan fungsi yang tumpang tindih dengan kementerian, sehingga kinerjanya tidak efektif dan optimal.
Dari aspek peraturan perundang-undangan juga tidak tidak harmonis satu sama lain. Tidak sedikit antara peraturan pemerintah dengan peraturan menteri yang bertentangan satu sama lain. Kondisi seperti ini tentu akan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan oleh oknum birokrat.
Kedua, sosialisasi dan edukasi yang masif dari pemerintah mengenai upaya menyadarkan masyarakat agar tidak menoleransi praktik tindak pidana korupsi. Kegiatan tersebut dilaksanakan dimulai pada setiap jenjang pendidikan yang dimulai pada tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Perilaku korupsi jangan sampai menjadi suatu kultur atau kebiasaan. Harus tertanam dalam masyarakat bahwa korupsi merupakan suatu kejahatan.
Mahfud MD pernah menegaskan bahwa praktik korupsi merupakan bukan budaya Indonesia. Korupsi tidak bisa disebut budaya, melainkan harus dipandang sebagai kejahatan yang jika berkembang di dalam masyarakat harus diluruskan melalui politik kebudayaan dan politik hukum.
Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya aparatur, termasuk peningkatan kesejahteraan aparatur. Penguatan integritas dan kualitas sumber daya aparatur merupakan hal yang sangat krusial, sehingga kebijakan yang akan dilahirkan bermanfaat bagi masyarakat, jauh dari kepentingan politik kotor. Seperti yang disampaikan oleh Mohammad Hatta, “Tak perlu diciptakan undang-undang lain, karena seribu macam undang-undang tak akan ada gunanya kalau moral dari yang berwenang sudah bejat.”
Untuk meningkatkan independensi dan kualitas aparatur dalam pelaksanaan pekerjaan, pengangkatan aparatur harus objektif dan profesional, sesuai dengan kompetensinya melalui prosedur seleksi jabatan yang ideal, baik, dan transparan.
Keempat, penguatan kontrol masyarakat. Salah satu bentuk penguatan kontrol masyarakat dapat dilakukan dengan memberikan hak akses informasi kepada masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk regulasi agar masyarakat berhak mengakses semua informasi mengenai kebijakan pemerintah yang berdampak pada kehidupan banyak orang.
Media massa dan media sosial dapat digunakan sebagai sarana kontrol masyarakat yang efektif dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi. Diyakini, media massa memiliki pengaruh kuat dalam menggalang opini publik. Sehingga mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) yaitu adanya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.