Kejaksaan Agung sedang menunjukkan trend positif dalam penindakan tindak pidana korupsi kelas kakap. Setelah mengungkapkan korupsi timah yang merugikan negara senilai Rp271 triliun pada medio tahun 2024. Baru-baru ini, Kejaksaan Agung berhasil mengungkapkan dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kerja Sama (KKKS) Periode 2018-2023 yang melibatkan jajaran direksi anak usaha Pertamina dan pihak swasta, diperkirakan telah merugikan negara hampir Rp200 triliun.
Kerugian tersebut meliputi beberapa unsur, yaitu ekspor minyak mentah yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri senilai Rp35 triliun, pembelian minyak mentah dan produk kilang dengan mark-up harga melalui broker yang merugikan negara Rp11,7, serta peningkatan biaya kompensasi dan subsidi BBM yang ditanggung APBN 2023, dengan nilai kerugian mencapai Rp147 triliun.
Dari rentetan kasus korupsi di Indonesia yang telah dijatuhi putusan oleh hakim, seolah tidak memberikan efek jera terhadap koruptor. Sebagaimana halnya kasus korupsi timah pada pengadilan tingkat pertama divonis 6,5 tahun penjara, namun putusan tersebut dianulir pada PT DKI Jakarta menjadi 20 tahun penjara. Vonis terhadap Harvey ini jauh lebih tinggi daripada tuntutan jaksa 12 tahun terhadap Harvey.
Kita tentu sangat mengapresiasi putusan hakim tingkat banding yang memperberat hukuman menjadi 20 tahun penjara. Karena perbuatan tersebut tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto juga memperlihatkan komitmen serius untuk memberantas praktik korupsi tanpa pandang bulu. Hal ini tentu menjadi garansi pada publik bahwa pemberantasan korupsi akan menjadi prioritas utama dalam pemerintahannya. Untuk itu, pemidanaan terhadap korupsi kelas kakap yang mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar harus dijatuhi hukuman maksimal atau hukuman terberat.
Idealnya hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi mengacu pada ketentuan hukum positif yang berlaku guna mencapai putusan yang memiliki rasa keadilan. Maka, penjatuhan pidana mati untuk koruptor kelas kakap yang mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar merupakan pilihan yang bijak dan rasional, karena bisa memberikan efek jera bagi para pelaku.
Dalam sejarah penegakan tindak pidana korupsi di Republik ini, belum pernah dijatuhkan pidana mati kepada koruptor. Hukuman paling berat terjadi pada kasus korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang terlibat dalam kasus suap sengketa Pilkada. Hal ini menunjukan bahwa penerapan pidana mati bagi pelaku korupsi kakap masih sulit untuk direalisasikan.
Penafsiran UU Tipikor
Pranata hukum yang dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana mati terhadap koruptor yaitu Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, yang menyatakan ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Dalam penerapan pidana mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, banyak faktor yang berpengaruh khususnya dalam hal pemahaman subtansi UU Tipikor. Pertama, kata “dapat” dalam substansi pasal tersebut. Kata dapat bersifat fakultatif dan subyektif, artinya penerapan pidana mati mempunyai makna tidak wajib atau tidak mengikat serta tergantung penafsiran dan keyakinan aparat penegak hukum, baik jaksa dalam tahap penuntutan maupun hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Selanjutnya pembatasan penafsiran ”keadaan tertentu” dalam penjelasan UU Tipikor, yang dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Berdasarkan penafsiran “keadaaan tertentu” dalam UU Tipikor, maka dipastikan hanya koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi pada waktu negara dalam keadaan bahaya, pada waktu bencana alam nasional, pengulangan korupsi atau krisis ekonomi yang dapat dijatuhi pidana mati.
Bagaimana halnya dengan para koruptor yang mengakibatkan kerugian negara seperti kasus korupsi Harvey cs dan kasus korupsi Pertamina, apakah bisa dijatuhi pidana mati oleh Hakim. Mengingat kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi ini sangat besar dan dahsyat, namun tidak memenuhi unsur ”keadaan tertentu”.
Menurut penulis, penafsiran ”keadaan tertentu” dalam penjelasan UU Tipikor perlu dirumuskan secara eksplisit lebih luas sehingga memiliki parameter yang jelas dan terukur, serta dapat mengakomodir korupsi yang mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar.
Senada dengan hal tersebut, menurut mantan Ketua KPK Busyro M terdapat tiga kriteria utama yang bisa membuat koruptor layak dihukum mati, yakni (a) korupsi lebih dari Rp. 100 miliar, menyebabkan kerugian publik yang besar; (b) korupsi dilakukan oleh penyelenggara negara, dan (c) korupsi dilakukan berulang kali.
Kesimpulan
Dampak korupsi bukan hanya sekedar kerugian negara, tapi merupakan aksi pengkhianatan terhadap kehidupan sosial dan budaya. Perbuatan tersebut menghasilkan polarisasi ekonomi yang berdampak pada kemiskinan secara struktural terhadap seluruh lapisan masyarakat. Tidaklah salah apabila korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat.
Memang penerapan pidana mati terhadap kasus korupsi terdapat pro kontra dari para praktisi dan akademisi. Namun, sifat tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime, merupakan tindak pidana yang dapat disejajarkan dengan tindak pidana luar biasa lainnya yaitu terorisme, penyalahgunaan narkotika, atau kejahatan genosida. Untuk itu, perlu ketegasan dan kejelasan rumusan terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor beserta penjelasannya, sehingga aparat penegak hukum dapat mengaplikasikan dengan baik dalam prakteknya.