Awal tahun 2022 ada yang baru dalam tubuh birokrasi pemerintah, menyusul implementasi penyederhanaan birokrasi pemerintah dalam bentuk penyetaraan jabatan PNS dari jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Tanggal 31 Desember kemarin seluruh daerah di Indonesia melantik pejabat fungsional yang sebelumnya adalah pejabat esselon IV. Bahkan ada yang melakukan pelantikan di malam hari karena selambat-lambatnya 31 Desember 2021 itu daerah mesti melakukan penyetaraan jabatan tersebut.
Wacana penyetaraan jabatan tersebut awalnya direspon setengah tidak percaya, banyak yang berfikir itu sebatas wacana yang bermula dari instruksi Presiden saat pidato pelantikannya. Presiden ingin memangkas jalur birokrasi yang panjang dengan menyederhanakan eseloneering birokrasi. Pejabat Administrasi (Esselon III dan IV) akan dialihkan menjadi pejabat fungsional yang lebih mengedepankan keahlian dan kompetensi ketimbang koordinasi hirarki jabatan.
“Tidak mungkin itu bakal di eksekusi secepat itu, aturannya mana” bunyi suara suara merespon
“Iya, bakalan ribet dan tumpang tindih jadinya” yang lain ikut menimpali.
Tapi ternyata Pemerintah Pusat terus bergerak dan komit dengan konsep penyederhanaan birokrasi itu. Sinyalemen penguatan jabatan fungsional tersebut sudah tampak dalam PP No 17 Tahun 2020 yang merupakan revisi dari PP 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Seiring waktu Kemendagri mengeluarkan Surat Edaran, menyusul Kemenpan RB dengan Permen PAN-RB Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Permen PAN-RB Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional yang menjadi dasar pengalihan jabatan esselon IV ke Jabatan fungsional pada akhir tahun kemarin. Walaupun pada akhirnya sebagian besar pengalihan baru pada level Pejabat Pengawas (Ess IV) kecuali pada pada bidang tugas tertentu.
Maka peta pun berubah, di Kota Padang Panjang ratusan pejabat struktural eselon IV yang terdampak penyederhanaan birokrasi diatas telah dilantik menjadi pejabat fungsional dengan berbagai nama jabatan. Puluhan lainnya menunggu persetujuan dari Kemendagri. Yang menarik saat ini, dalam konfigurasi jabatan fungsional baru hasil penyetaraan tersebut ada satu jabatan fungsional yang jumlahnya cukup banyak. Jumlahnya saat ini mencapai puluhan dan hampir di setiap OPD ada jabatan tersebut, Dan masih akan menyusul belasan atau mungkin puluhan lainnya untuk dilantik jika terbit persetujuan dari pemerintah pusat. Jabatan tersebut bernama jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK).
Di tengah aturan dan kebijakan pemerintah pusat terkait penyederhanaan birokrasi yang terlihat belum settle dan masih sangat dinamis menemukan bentuk terbaiknya ini, mereka yang diangkat ke dalam jabatan fungsional baru, terlihat sedikit ‘kebingungan’. Banyak pertanyaan yang mengapung di kepala para pejabat fungsional baru termasuk para Analis Kebijakan. Apakah tugas utama mereka melaksanakan butir tugas jabfung atau pekerjaan di jabatan lama dalam kapasitas sub koordinator ? Tugas apa saja yang punya nilai kredit poin ? bagaimana cara menyusun angka kredit, siapa yang menilai ? dan banyak pertanyaan lainnya yang saling berjalin kelindan.
Dan respon terkait pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab tersebut pun beragam, malah ada yang bilang
“Ah, paling ganti Presiden ganti lagi kebijakan, balik lagi ke sistim yang lama” Saking masih samarnya tindaklanjut penyetaraan jabatan ini di level teknis.
Tapi tak mungkinlah Pemerintah Pusat akan ‘sebergarah’ itu membuat kebijakan, ganti Presiden ganti kebijakan dengan sebegitu mudahnya. apalagi kebijakan yang fundamental ditubuh birokrasi ini. Tapi sudahlah, biar pusat yang memikirkan sistim yang belum settle ini, kebijakan yang masih butuh waktu menemukan bentuk idealnya. Tapi spiritnya sebenarnya bagus, membiasakan para ASN untuk bekerja sesuai kompetensi dan spesialiasi serta keahlian tentunya.
Kembali ke Jabatan Fungsional Analis Kebijakan, Jika Jabatan Analis Kebijakan benar-benar difungsikan sebagaimana mestinya, maka jabatan ini sebenarnya adalah jabatan yang sangat strategis, menarik sekaligus menantang. Strategis karena kerja para JFAK diharapkan mampu memperbaiki kualitas kebijakan pemerintah ditengah arus disrupsi yang makin menguat seiring perkembangan teknologi saat ini. Akan lucu jadinya jika zaman bergerak begitu cepatnya, tapi pemerintah tak mampu mengimbanginya dengan kebijakan-kebijakan yang selaras dengan kondisi perubahan-perubahan terkini. Di situlah peran strategis para Analis Kebijakan yang idealnya diisi oleh orang-orang brilian, cerdas, visioner dan punya passion tentunya dengan pekerjaan itu.
Para JFAK diangggap sebagai Think Tank kebijakan pemerintah yang membantu melahirkan kajian-kajian analisa kebijakan, rencana kerja, program-program yang berkualitas, berbasis data dan evidence. Kebijakan yang tak cuma mengandalkan intuisi, asumsi apalagi ‘cocoklogi’, tapi kebijakan yang bersifat agile dan deliberatif, artinya melalui proses diskusi, pembahasan dan pertimbangan yang mendalam dari berbagai aspek. Partisipasi JFAK dalam merumuskankan rencana-rencana kebijakan pemerintah yang berkualitas dan selaras dengan perkembangan dan kebutuhan terkini, dengan metologi dan kaidah yang ilmiah diharapkan akan mampu menepis stigma bahwa kebijakan pemerintah pada umumnya lahir secara eksklusif dari level elit saja yang memang tak sepenuhnya benar.
Jabatan Analis Kebijakan menjadi menarik, karena para JFAK dengan selembar SK ditangannya diberi kewenangan dan privilege dalam tugasnya melakukan analisa dan kajian terkait apa yang akan dilakukan, memberi advokasi atas apa yang sedang berjalan dan ikut mengevaluasi atas kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan dengan output publikasi laporan kajian. Bayangkan betapa menariknya tugas JFAK tersebut ketika Undang-undang membackup proses pelaksanaan tugasnya.
JFAK saat ini kebanyakan berasal kelompok umur generasi Y atau populer dengan sebutan generasi millenial atau mereka yang lahir dalam rentang 1980, sebagian bilang 1977 sampai 1994. Generasi ini punya karakteristik yang menonjol yaitu terbuka dengan perubahan, kritis, ambisius, menguasai teknologi. Karakteristik ini tentu akan menjadi modal fundamental untuk menjadi analis kebijakan yang baik. Mereka akan jeli mengidentifikasi masalah, aware dengan isu-isu strategis, sensitif dengan berbagai bentuk kekeliruan yang seharusnya bisa diluruskan.
Bisa dibayangkan situasi yang akan berubah kedepan, ketika anak muda, para fungsional AK diberi ruang ikut berperan aktif melahirkan kebijakan, mengkritisi apa yang sedang berjalan. Tak ada lagi gumam-gumam samar di barisan kursi rapat paling belakang merespon diskusi para atasan mereka, para baby boomers yang masih tersisa di tubuh birokrasi atau Generasi X penggal pertama yang duduk di barisan kursi terdepan membahas suatu topik yang belum tentu sepenuhnya benar. Gumam-gumam yang selama ini tak tersampaikan sekarang bisa dituangkan dalam sebuah academic report yang berkualitas. Tak akan relevan lagi istilah “Kalau pitih satuih mengecek, pitih mo puluah tapaso diam”. Akan menarik kedepannya jika ide-ide segar, yang tertuang dalam publikasi kajian para JFAK memberi warna pada kebijakan pemerintah.
Sesuatu yang selama ini cuma utopia di kepala ASN muda akan diberi ruang untuk menjadi realita. Terlepas ada proses politis yang menyertai lahirnya setiap kebijakan, tapi yang jelas akan ada pengayaan dalam rencana-rencana kerja pemerintah yang muncul dari kelompok JFAK. Betapa kayanya rujukan dokumen-dokumen perencanaan kedepan, dengan adanya publikasi kajian bermutu dari pada JFAK tersebut. Sehingga pada gilirannya nanti rencana startegis, rencana kerja, program prioritas akan lebih tepat sasaran dan mampu menjawab kebutuhan publik dan kemajuan zaman.
Selanjutnya, Jabatan Analis Kebijakan disebut menantang, karena tentu tak semua yang diangkat dalam jabatan itu akan ‘boneh’ dan menjadi AK yang hebat. Sebagian akan melejit dan sebagian lainnya akan stagnant. Kuncinya pada masing-masing individu AK tersebut. Mereka yang punya minat dan passion pada tugas AK dan terus meningkatkan kompetensi serta kapasitas kepakarannya untuk bergerak maju. Yaitu mereka yang terus melatih kemampuan membuat karya tulis ilmiah berbobot, mempertajam pemahaman terhadap beragam metodologi analisis kebijakan, familiar dengan big data, memperkaya wawasan denagn pengetahuan dan perkembangan terkini, piawai dalam infografis. Proaktif berkolaborasi dengan fungsional lain yang terkait seperti Fungsional Perencana, Fungsional Peneliti, Fungsional Statistisi, Perancang Peraturan Perundang-undangan, dll dalam menggarap ‘proyek’ kajian kebijakan.
JFAK yang baik akan jelimet dalam memetakan situasi, mengenali masalah. Bukankah identifikasi masalah adalah poin paling mendasar dalam melakukan sebuah kajian atau penelitian. Yang pernah menulis skripsi atau thesis pasti paham, jika identifikasi masalah adalah hal pertama yang yang dilihat dosen pembimbing.
“Apo masalah nan ka angku teliti, baa angku merumuskannyo ?” begitu pertanyaan pertama profesor berkacamata tebal begitu menerima proposal penelitian dari mahasiswanya.
Mengenali masalah memang menjadi penting, bagaimana mau merumuskan sebuah kebijakan atau program jika permasalahnya saja tak bisa dikenali. Bagi sebagian ASN, yang sudah terjebak dalam rutinitas pola kerja bertahun-tahun, running bussines as usual terkadang membuat tumpul sensitifitas kita dalam mengindentifikasi masalah. Bahkan terkadang sesuatu yang sebenarnya adalah sebuah permasalahan yang substantif tapi tak lagi dikenali sebagai masalah karena saking terbiasanya menghadapi itu dari tahun ke tahun.
Meanwhile, sementara itu, di sisi yang berbeda. JFAK yang tak memiliki passion, tak berminat pada bidang tugas analis, tentu kebingungan mengindentifikasi apa yang akan dilakukan, malas mengupgrade kapasitas diri tentu akan jalan di tempat pada posisinya. Padahal tak ada alasan mengatakan tidak tahu apa yang akan dikerjakan. karena begitu banyak permasalahan yang bisa dikaji disekitar kita, tak hanya di tubuh birokrasi tapi juga ditengah masyarakat, baik masalah yang spesifik maupun lintas bidang dan lintas sektor, masalah yang sudah berkarat yang butuh diurai atau permasalahan baru sebagai ekses perkembangan zaman. di sisi lain ada berpuluh program yang berjalan setiap tahun yang butuh advokasi, beratus kegiatan yang telah terlaksana yang butuh evaluasi untuk untuk perbaikan dan penyempurnaan kedepan. Tak akan cukup waktu bagi para analis kebijakan yang bersemangat setiap tahunnya dalam melaksanakan tugasnya.
Yang dibutuhkan oleh sistim ini dalam memberdayakan para analis kebijakan ini diantaranya adalah kejelian para pimpinan melakukan cascading pekerjaan, menjabarkan, membagi habis, membreak down tugas secara berkesinambungan dari atas sampai kebawah, menciptakan ruang yang fleksibel untuk kolaborasi JFAK dengan fungsional lainya, membentuk task force yang solid untuk setiap kegiatan analisa kebijakan. Semoga